Dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Itulah
pengertian dari definisi kata dosen, berat pasti sangat berat profesi ini tapi
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 sudah menterjemahkan demikian. Tugas dosen
secara khusus dijelaskan dalam bentuk tridharma perguruan tinggi yang merupakan salah satu tujuan yang harus dicapai dan
dilakukan oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia dimana dosen merupakan
garda terdepan dalam melaksanakan tridharma ini yakni terkait Pendidikan dan
Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Dalam rangka
menjalankan tridharma ini seorang dosen dituntut untuk mampu mencerahkan
kehidupan civitas akademika dengan sebuah karya. Bagi seorang Dosen karya
ilmiah ini sangatlah penting sebagai bentuk kompetensi atau kepakaran dirinya
dalam bidang yang ditekuni. Menulis adalah sebuah keharusan bagi seorang dosen,
bahkan dosen tidak memiliki substansi jika tidak menulis. Baik menulis jurnal,
artikel, laporan penelitian, maupun buku-buku ilmiah. Bukan semata-mata untuk
keperluan karir tetapi tanggung jawab moril dalam rangka mencerahkan kehidupan
pendidikan. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Nomor 17 tahun 2013, dan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 tahun 2014, bahwa kenaikan jenjang
jabatan akademik dosen mewajibkan untuk publikasi pada jurnal ilmiah Nasional
terakreditasi dan jurnal Internasional bereputasi di bidangnya.
Menulis juga
merupakan bentuk tranformasi dan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan pengabdian
kepada masyarakat. Namun, fakta yang terjadi di lapangan, komitmen dosen dalam
menulis dan mempublikasikannya masih tergolong rendah. Menulis belum membudaya
di kalangan dosen. Paradigma yang terjadi Dosen lebih tertarik untuk mengajar yang
lebih cepat menghasilkan daripada menulis yang membutuhkan konsentrasi penuh
dan waktu lama. Hal tersebut disampaikan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan
Tinggi (LL Dikti) Prof. Umam Suherman, yang mengemukakan bahwa “Kemampuan dalam
membuat jurnal itu sangat mutlak yang dimiliki seorang dosen, karena itu memang
tuntutan untuk meningkatkan jenjang fungsional, Ia mengatakan, dosen itu bukan
profesi, tapi dosen seorang akademisi, seorang ilmuan yang mewajibkan
mengembangkan ilmunya. Tidak hanya mengembangkan ilmu, tapi juga
mengaplikasikan kepada masyarakat.
Hal senada
disampaikan oleh Prof. Amrinsyah Nasution
bahwa budaya menulis kalangan dosen di Indonesia masih sangat rendah
dibandingkan dengan dosen di luar negeri. Salah satu kelemahan budaya menulis
kalangan dosen di Indonesia, yakni para dosen Indonesia kurang memiliki
kemampuan dalam menuangkan pikiran. Gagasan lebih sering disampaikan secara
lisan melalui seminar atau diskusi, yang seringkali tidak disertai dengan bahan
tulisan. Mirisnya pula, masih ditemui dosen yang melakukan plagiat demi
tuntutan kredit. Hal ini tentu memperburuk citra dosen dan perguruan tinggi itu
sendiri, sementara dosen adalah salah satu indikator keberhasilan perguruan tinggi.
Jika dosennya malas menulis, atau menulis asal-asalan, bagaimana dengan
mahasiswanya? Bisa dipastikan mahasiswanya pun malas mengembangkan kemampuan
menulisnya. Sehingga yang terjadi adalah saat diberi tugas membuat makalah,
mahasiswa cukup copas di internet. Memprihatinkan sekali bukan? Hal ini tentu
menjadi tanggung jawab moril bagi seorang Dosen untuk berupaya memberikan
contoh menjadi suri tauladan bagi mahasiswanya untuk menulis.
Masalahnya
secara teknis bahwa memang sumber daya manusia kita tidak terlatih untuk
menulis. Dari kecil dibiasakan menghapal dan menghapal. Jadi budaya menulisnya
masih sangat rendah. Begitu pun kemampuan berbahasanya. Oleh karena itu, perlu
adanya perubahan mindset bangsa Indonesia agar lebih mencintai
budaya menulis. Melihat kenyataan yang ada,
budaya menulis di kalangan dosen perlu ditingkatkan. Dosen harus menulis tidak
hanya sekedar pemenuhan karir saja, tapi dosen juga harus menulis buku, menulis
jurnal Nasional maupun Internasional, dan dosen juga harus menulis di media
massa.
Jika melihat pada tujuan lahirnya sertifikasi
dosen, hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mendorong para dosen agar
menulis dan menghasilkan karya ilmiah. Jika dicermati, maka tugas menulis dan
menghasilkan karya akademis juga tidak terlalu berat, terutama bagi yang
terbiasa menulis baik tulisan akademis murni atau ilmiah popular. Akan tetapi
bagi yang tidak terbiasa menulis, maka kewajiban tersebut bisa dirasakan berat
dan memberatkan. Oleh karena itu, untuk memahami apakah menunaikan tugas
menulis itu berat atau tidak, tergantung pada sudut pandangnya.
Dalam hal ini memang bisa dilihat
garis besarnya bahwa kegiatan menulis yang harus dilakukan oleh Dosen tidak
instan. Hal ini dimulai dari seorang dosen harus menyebarkan gagasan. Wujud
menyebarkan gagasan itu adalah melalui karya-karya akademis yang teruji di
jurnal baik jurnal terakreditasi atau non terakreditasi tetapi memiliki
International Standart Series Number (ISSN). Mengapa perlu ada ketegasan
normative tentang pentingnya dosen menuliskan gagasannya melalui media? Hal ini
tentu saja terkait dengan kenyataan bahwa banyak dosen yang tidak menulis di
media. Jumlah dosen yang menulis di jurnal, majalah, bulletin dan sebagainya
ternyata masih langka.
Dosen harus melakukan kajian secara
mandiri maupun bersama melalui program penelitian. Dosen memang bukan hanya
sekedar pengajar, akan tetapi juga seorang peneliti. Dosen bukan hanya sebagai
PNS yang tugasnya hanya menyebarkan ilmu melalui lisan dari satu kelas ke kelas
lainnya, akan tetapi juga sebagai peneliti yang harus menghasilkan
temuan-temuan ilmiah baru atau merevisi teori-teori yang sudah ada. Namun
demikian, juga bisa diperhitungkan jika yang bersangkutan membina atau
membimbing penelitian mandiri yang dilakukan oleh mahasiswa dalam berbagai
stratanya.
Kemudian fase terakhir, dosen harus
menghasilkan karya yang berupa buku. Buku yang dihasilkan dosen tersebut
haruslah buku yang memiliki standart internasional yang dibuktikan melalui
International Standart Book Number (ISBN) dan tentu juga diterbitkan oleh
penerbit yang layak. Jika menggunakan ukuran yang pernah dibakukan melalui
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, maka buku tersebut harus
merupakan karya monumental, yang diindikatori dengan pengakuan buku tersebut di
kalangan dunia akademis. Misalnya digunakan oleh tiga lembaga pendidikan
tinggi, diterbitkan oleh penerbit internasional, dikutip oleh tiga penulis
asing dan lainnya. Meskipun hal tersebut bukan standart baku, akan tetapi ada
niat yang demikian kuat dari jajaran Kementerian Agama agar para dosen bisa
menghasilkan karya-karya outstanding yang memang layak sebagai karya akademisi
atau dosen.
Terkait dengan rendahnya kemampuan dan budaya menulis dosen, ada
beberapa faktor yang bisa diidentifikasi yakni :
1.
Dosen tidak memiliki motivasi dalam menulis.
2.
Dosen kurang konsen terhadap pengembangan pengetahuan.
3.
Dosen tidak memahami kewajiban profesinya
4.
Dosen tidak tahu bagaimana cara menulis karya ilmiah dengan
baik
5.
Dosen memiliki minat baca yang rendah
6. Honorium/insentif yang diterima dosen dari menulis masih
sangat kecil, bahkan ada sebagian kampus yang meminta bayaran jika dosen ingin
menerbitkan jurnal yang ditulisnya sehingga dosen lebih tertarik untuk mengajar
atau mengejar proyek lain.
7. Tidak adanya waktu untuk menulis karena beban mengajar yang
padat.
8. Tidak adanya perhatian dari lembaga.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar kegiatan menulis,
khususnya menulis karya ilmiah menjadi budaya di kalangan dosen :
1. Dosen harus banyak berlatih menulis dengan menjadikan
kegiatan menulis sebagai sebuah kegemaran
2.
Menumbuhkan motivasi menulis, baik motivasi internal maupun
motivasi eksternal
3.
Pimpinan perguruan tinggi membangun ruang menulis secara
berkelanjutan
4.
Pimpinan perguruan tinggi membangun budaya riset dalam
penyelenggaraan pendidikan
5.
Pimpinan perguruan tinggi dapat memberikan semacam
penghargaan (insentif) kepada para dosen yang berhasil mempublikasikan
karya ilmiahnya di jurnal ilmiah yang diterbitkan, agar para dosen termotivasi
dan berlomba-lomba dalam menulis
6. Mengadakan pelatihan-pelatihan menulis dengan menghadirkan
pakar dari media massa atau pengelola jurnal kampus, serta terlibat dalam
kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti seminar, workshop, dan lain-lain.
7. Dosen harus bisa mengatur beban kerjanya sehingga memiliki
waktu untuk menulis dan meningkatkan kemampuan menulisnya. Para dosen bisa
membuat kesepakatan dengan pihak akademik untuk meminimalisasi target
pengajaran. Dengan begitu, diharapkan dosen lebih produktif dalam menulis karena
sesungguhnya dosen adalah seorang penulis.
Tuntutan ini sebenarnya dapat memberikan dampak
ke depan bahwa para dosen menjadi sangat sibuk untuk memenuhi standart
kualifikasi minimal sebagai dosen dengan terus menulis baik di jurnal, majalah
atau menghasilkan karya berupa buku. Jika ini bisa dilakukan maka akan kita
jumpai dinamika pengembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Mungkin di tahap
awal dosen hanya akan berpikir minimal, yaitu memenuhi standar minimal
persyaratan. Akan tetapi lama kelamaan, bahwa para dosen akan terus meneliti
dalam rangka menemukan teori-teori baru. Dosen tidak perlu terlalu terobsesi
dengan jurnal terindek scopus atau jurnal yang memiliki standar internasional,
tetapi membuat apapun jurnal atau karya tulis itu lebih penting.
Dosen merupakan sebuah
profesi mulia dimana profesi bukan sekedar profesi tetapi Dosen adalah aktor
peradaban. Status dosen seharusnya
tidak lagi sebatas profesi, tetapi sebagai komitmen dan tugas peradaban. Memang
untuk sebagian orang, ungkapan ini terkesan utopis. Namun kita harus
ingat, itulah tugas sejarah universitas sejak dilahirkan. Tugas universitas
adalah mengembangkan pengetahuan melalui riset, menyebarkan pengetahuan melalui
pengajaran dan publikasi, dan mengaplikasikan pengetahuan melalui layanan
publik. Sebagai sebuah profesi mulia seyogyanya setiap karyanya dapat
memberikan pencerahan bagi setiap orang yang menerima pengetahuannya. Untuk
membangun generasi unggul bangsa ini tidak lahir begitu saja, salah satunya
adalah buah fikiran dosen dalam berkontribusi terhadap pengembangan kompetensi.
Dosen harus terus berkarya membangun optimisme, bahwa bangsa ini bisa hidup
sejajar dengan bangsa hebat lainnya lewat setiap goresan pena penuh makna.
artikel ini sudah di posting pada : https://www.pasundanekspres.co/opini/dosen-antara-kewajiban-menulis-dan-mencerahkan-kehidupan-pendidikan/
0 Comments:
Posting Komentar