Tidak
berhenti sampai dengan kebijakan merdeka belajar, mas menteri Nadiem Anwar
Makarim sebagai Mendikbud kembali meluncurkan kebijakan pada jenjang pendidikan
tinggi dengan tajuk “Kampus Merdeka”. Hal
ini merupakan sebuah konsekuensi logis, seiring berpindah kembalinya direktorat jenderal (Ditjen)
pendidikan tinggi (Dikti) kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semula Ditjen Pendidikan
Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi ( Kemenristekdikti).
Kebijakan terkait kembalinya direktorat jenderal (Ditjen) pendidikan tinggi (Dikti)
kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memang dirasa tepat. Mengingat pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi tidak boleh terputus
sehingga menyebabkan birokrasi yang tidak selesai. Namun hal ini juga tidak
akan mengurangi riset-riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi akan tetapi
tugas di sini akan menjadi lebih cepat lagi, sebab motor penggerak dari riset
yang dilakukan ada di institusi itu sendiri.
Kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) terkait pendidikan tinggi tak lepas dari pro dan kontra. Kebijakan
yang menurut Mendikbud Nadiem Makarim dapat melepaskan belenggu kampus agar
lebih mudah bergerak hal ini, misalnya, dicap memperkuat komersialisasi
pendidikan. Hal ini tentu menjadi kritik lahirnya kebijakan kampus merdeka ini.
Tetapi kita harus melihat kebijakan ini secara komprehensif agar memahami
tujuan dari lahirnya program kampus merdeka.
Kebijakan kampus merdeka jika dilihat dari isi program
yang akan digulirkan menuntut perubahan tata kelola perguruan tinggi, dimana
perguruan tinggi dituntut untuk mampu meningkatkan mutu. Berdasar pada
perubahan ini sebenarnya apa konsen terkait kampus merdeka dan bagaimana
perubahan yang akan terjadi pada perguruan tinggi sesuai dengan program “Kampus
Merdeka” .
1.
Sistem akreditasi
perguruan tinggi
Dalam program Kampus Merdeka, program re-akreditasi
bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan
tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Akreditasi yang sudah
ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku
selama 5 tahun namun akan diperbaharui secara otomatis. Pengajuan re-akreditasi
PT dan prodi dibatasi paling cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang
terakhir kali. Untuk perguruan tinggi yang berakreditasi B dan C bisa mengajukan
peningkatan nanti, Akreditasi A pun akan diberikan kepada perguruan tinggi yang
berhasil mendapatkan akreditasi internasional. Mengenai Daftar akreditasi
internasional yang diakui akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Evaluasi
akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas meliputi
pengaduan masyarakat dengan disertai bukti konkret, serta penurunan tajam
jumlah mahasiswa baru yang mendaftar dan lulus dari prodi ataupun perguruan
tinggi.
Hal ini merupakan angin segar bagi perguruan tinggi
untuk memperbaiki nilai akreditasinya dengan mekanisme yang sudah dibuat.
Dengan re-akreditasi menjadi sebuah hal yang tidak mengikat tentu ini tidak
akan membuat perguruan tinggi untuk bersusah payah menyiapkan akreditasi. Dan
yang paling utama dari akreditasi sesuai dengan permenristekdikti
Nomor 62 tahun 2016 tentang sistem penjaminan mutu Pendidikan tinggi (SPM
Dikti) mengenai Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan
Peningkatan. Hal ini merupakan kewajiban semua perguruan tinggi untuk membangun sistem
penjaminan mutu internal (SPMI) secara terus berkelanjutan.
2.
Hak belajar 3 semester di
luar prodi
Kampus Merdeka yang kedua memberikan hak kepada
mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan
definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Perguruan tinggi wajib memberikan hak
bagi mahasiswa untuk secara sukarela boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar
kampusnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Mahasiswa juga dapat
mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari
total semester yang harus ditempuh. Ini tidak berlaku untuk prodi
kesehatan. Mendikbud menilai saat ini bobot SKS untuk kegiatan
pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk
mencari pengalaman baru, terlebih di banyak kampus, pertukaran pelajar atau
praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa. Lebih lanjut, Mendikbud
menjelaskan terdapat perubahan pengertian mengenai SKS. Setiap SKS diartikan
sebagai 'jam kegiatan', bukan lagi 'jam belajar'. Kegiatan di sini berarti
belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran
pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun
kegiatan mengajar di daerah terpencil. Setiap kegiatan yang dipilih mahasiswa
harus dibimbing oleh seorang dosen yang ditentukan kampusnya. Daftar kegiatan
yang dapat diambil oleh mahasiswa dapat dipilih dari program yang ditentukan
pemerintah dan/atau program yang disetujui oleh Rektornya..
Tujuan dari hak belajar ini memang sangat baik,
terkait menempa kompetensi mahasiswa sesuai dengan kebutuhan industri dan
mengakomodir mahasiswa untuk mengembangan diri tidak hanya terkait program
studi yang ditempuh saja tetapi juga dengan pengetahuan lainnya. Namun pada
prinsifnya bahwa hal ini harus dilihat dari semua aspek, terutama pengelola
perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang akan ditetapkan.
Alternatif lain adalah perubahan kurikulum perguruan tinggi untuk dapat
mengkomodir langkah kebijakan ini. Karena tentu kurikulum merupakan hal yang
akan berperan sangat besar terkait program kampus merdeka hak belajar ini.
3.
Pembukaan prodi baru
Program Kampus Merdeka memberikan otonomi Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian
program studi (prodi) baru. Otonomi diberikan jika PTN dan PTS tersebut sudah
memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi
dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities.
Pengecualian berlaku untuk prodi kesehatan dan pendidikan. Ditambahkan oleh
Mendikbud, “Seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C”. Lebih
lanjut, Mendikbud menjelaskan kerja sama dengan organisasi akan mencakup
penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para
mahasiswa. Kemudian Kemendikbud akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra
prodi untuk melakukan pengawasan. Tracer study wajib dilakukan setiap tahun
untuk melihat sejauh mana terserapnya mahasiswa oleh dunia kerja.
Hal ini sebenarnya sudah terlihat dari hadirnya
kebijakan setelah SN DIKTI 2015 (permenristekdikti nomor 44 tahun 2015) bahwa
aturan-aturan terkait tata kelola perguruan tinggi dan program studi mengalami
perubahan. Namun dengan Kampus merdeka poin ketiga ini tentu ada hal positif
yang didapatkan secara khusus bagi PTS yang ingin mengembangkan perguruan
tinggi nya dengan memiliki program studi dengan nilai akreditasi yang baik dan
pembukaan program studi baru PTS.
4.
Kemudahan menjadi PTN-Badan
Hukum
Kebijakan Kampus Merdeka yang keempat terkait
kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk
menjadi PTN Badan Hukum. Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan
Satker untuk menjadi PTN Badan Hukum tanpa terikat status akreditasi. Hal ini
memang perlu dikaji kembali, menurut Darmaningtyas dkk dalam buku Melawan Liberalisasi
Pendidikan (2013) yang mengemukakan bahwa PTN Badan Hukum yang muncul pertama
kali pascareformasi pada dasarnya melepaskan tanggung jawab negara dalam
menjamin pendidikan bagi warganya. Perguruan tinggi PTN Badan Hukum perlahan dicabut
subsidinya oleh Negara sehingga diminta mencari uang sendiri untuk biaya
operasional. Akhirnya yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan biaya
kuliah. Pada akhirnya biaya kuliah yang tinggi semakin sulit dijangkau
mahasiswa dari kalangan tidak mampu.
Alasan serupa dipakai oleh Mahkamah Konstitusi saat membatalkan
seluruhnya UU 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pemberian otonomi
nonakademik termasuk mencari uang sendiri dinilai tak akan mampu
dimaksimalisasi semua kampus. Hal itu dianggap akan menyebabkan terganggunya
penyelenggaraan pendidikan. MK juga menilai status kampus sebagai badan hukum
membuat pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa
ada perlindungan sama sekali. Badan hukum, misalnya, memungkinkan kampus
dipailitkan dan negara tak memikul tanggung jawab sama sekali jika itu terjadi,
hal ini sangat bertolak belakang dengan fungsi pendidikan tinggi yang
seharusnya lebih mengedepankan kebutuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tri
dharma perguruan tinggi harus tetap menjadi patokan sebuah perguruan tinggi.
Program ini perlu dikaji untuk dicari solusi yang terbaik sehingga tidak akan
muncul prasangka publik akan adanya praktik komersialisasi pendidikan.
Esensi
dari pelaksanaan Kampus Merdeka yakni terkait inovasi dan kreativitas perguruan
tinggi, dimana perguruan tinggi harus mampu mengelola perguruan tinggi secara
otonom terkait pencapaian mutu. Setiap lahirnya perubahan, sudah barang tentu
yang diharapkan akan lahirnya perbaikan, namun nada-nada minor terkait setiap
gebrakan akan selalu mengiringi. Yang diharapkan dari gebrakan perubahan adalah
hasil dari perubahan, mengenai hal ini tidak semua orang senang dengan
perubahan dan tidak semua perubahan dapat menghasilkan sesuai dengan harapan.
Tapi semua hal perlu perubahan, perguruan tinggi sebagai penghasil sumber daya
manusia harus konsen dalam melahirkan generasi yang memiliki kompetensi.
Program apapun yang digulirkan pemerintah, seyogyanya perguruan tinggi tetaplah
sebuah institusi dimana harapan itu terus ada dan perguruan tinggi memikul
beban sebagai upaya melahirkan sumber daya manusia unggul. Kampus merdeka
dengan segala pro kontranya adalah sebuah jalan perbaikan perguruan tinggi,
karena upaya untuk membenahi perguruan tinggi Indonesia harus terus dilakukan.
artikel ini sudah di posting pada : https://www.pasundanekspres.co/opini/kampus-merdeka-diantara-pro-kontra-dan-sebuah-jalan-perbaikan-menuju-mutu-perguruan-tinggi-indonesia/
0 Comments:
Posting Komentar